masukkan script iklan disini
Melayu Kayong adalah istilah kolektif yang mengacu pada masyarakat asli Kalimantan di Benua Kayong (Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat). Mereka berbudaya Melayu, berbahasa rumpun Malayic, dan mayoritas beragama Islam. Nama "Kayong" berasal dari salah satu anak Sungai Pawan di Kabupaten Ketapang. Dari segi linguistik, bahasa Melayu Kayong merupakan bagian dari bahasa Austronesia yang termasuk dalam Rumpun Bahasa Malayic Dayak di Borneo.
Menurut tradisi lisan, nenek moyang masyarakat Kayong adalah Tuk Upui dan Tuk Bubud, yang dianggap leluhur baik bagi kelompok Melayu maupun Dayak di wilayah ini. Legenda Danau Pateh Inte dan Demung Juru juga menceritakan peristiwa alam yang memisahkan pemukiman menjadi sebuah danau, yang kini terletak di Desa Ulak Medang, Muara Pawan, Ketapang. Penduduk yang mengungsi ke hulu dikenal sebagai Orang Ulu atau Orang Darat, sementara mereka yang berpindah ke pesisir atau hilir sungai kemudian disebut Melayu Kayong.
Kebudayaan Melayu mulai meresap ke masyarakat Kayong pada masa Kesultanan Islam Tanjungpura di Sukadana pada abad ke-16. Penyebaran Islam dimulai dari lingkungan keraton hingga masyarakat sekitar. Bagi penduduk yang tidak menerima Islam, mereka tidak dipaksa, namun kecenderungan untuk menjauhi pusat kerajaan muncul, sedangkan mereka yang memeluk Islam mendekati pusat pemerintahan.
Kehidupan Melayu Kayong yang umumnya berada di pesisir menyebabkan interaksi dan asimilasi dengan pendatang dari berbagai daerah. Akibatnya, Melayu Kayong saat ini terbentuk dari berbagai elemen, yaitu:
1. Penduduk asli yang memeluk Islam.
2. Pendatang dari Jawa (Pabu Jaya).
3. Pendatang dari Palembang (Sang Maniaka).
4. Pendatang dari Bugis (Daeng Manambon).
5. Pendatang dari Brunei (Raja Tengah).
6. Pedagang Arab.
7. Pendatang dari Siak (Tengku AMI).
Keberagaman ini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Melayu Kayong, mencerminkan perpaduan budaya dan sejarah panjang masyarakat di wilayah ini.
SBN